Apa memang masing-masing dari kita punya "jatah keberuntungan" yang pada masanya akan habis? Yang orang tau hidupku nyaris sempurna, tapi bagaimana jika ternyata jatah keberuntunganku sudah habis? Sinopsis: Hidup Rinai berjalan mulus dan nyaris sempurna, setidaknya hingga ia mulai merindukan bekerja di kantor seperti yang ia lakukan beberapa tahun lalu. Ia mulai merasa kesialan bertubi-tubi sedang senang menghampiri hidupnya. Puluhan lamaran pekerjaan yang nihil hasil, pernikahan bertahun-tahun tanpa buah hati, suaminya yang mulai sering keluar kota setelah mendapat promosi kenaikan jabatan. Lantas bagaimana jika tiba-tiba 2 kesempatan yang sangat ia tunggu-tunggu datang bersama namun hanya bisa ia pilih salah satu?
Sore itu langit mendadak berubah berawan. "padahal masih agustus, kok udah mendung ya, apa masuk pancoba?" gumamku lirih yang kau respon dengan menengok ke arah jendela. Kamu hanya tersenyum dan kembali menatap layar laptopmu, membiarkanku tenggelam dalam lamunan. Sedari tadi perasaanku tidak tenang, ada sesuatu yang mengganggu namun aku gagal menafsirkannya. Embun yang sedari tadi menetes dari gelas es Sakura Cream-ku semakin hilang, tanda kami sudah duduk berjam-jam berkutat dengan pekerjaan kami. Ya, sejak memutuskan untuk menjalin hubungan yang lebih serius 8 bulan lalu kami semakin sering bertemu di sela-sela waktu pulang bekerja atau saat aku WFH. Entah sekedar membeli es kopi, berdiskusi soal rencana kami, atau mengerjakan pekerjaan masing-masing seperti yang kami lakukan saat ini. "Bentar ya, aku ada meeting" ucapmu sambil memasang earphone wireless kado ulangtahun dariku 2 tahun lalu. Aku hanya mengangguk, pikiranku kembali melayang ke antah berantah, men
“Mmmaaaaasssss kaappaaaann ppuuulllaaaaannggg?” kali ini panjang panjang kuketik pesan pada Mas, sengaja, sekedar untuk mencari perhatian. Sebuah pertanyaan yang kukirim nyaris tiap hari dan selalu dijawab “sabar dek.” “Ya tapi sampai kapan hadeeehhh”, gerutuku sendiri sambil menatap layar ponsel yang tak kunjung memunculkan pesan balasan. Hujan bulan Desember membuatku enggan beranjak dari cafe meski semua deadline pekerjaan sudah aku selesaikan. “Mas kemana sih lama amat bales chat doang, ada meeting apa ya, apa lagi antar Okaasan periksa?” aku berbicara dengan diriku sendiri sambil menatap hujan yang masih turun sejak pagi. Ya, semenjak kedatangan kami ke Okinawa beberapa bulan lalu, Mas memutuskan untuk tinggal disana dan merawat Okaasan sampai beliau pulih. Aku pun kembali ke Bandung sendiri dengan perasaan campur aduk. Okaasan tidak membenciku, tapi juga tidak menunjukkan rasa suka terhadapku. Sikapnya memang hangat -setidaknya, untuk ukuran orang Jepang yang jarang basa-basi-
Komentar
Posting Komentar