Postingan

Menampilkan postingan dari 2023

Rinai

Gambar
Apa memang masing-masing dari kita punya "jatah keberuntungan" yang pada masanya akan habis? Yang orang tau hidupku nyaris sempurna, tapi bagaimana jika ternyata jatah keberuntunganku sudah habis? Sinopsis:  Hidup Rinai berjalan mulus dan nyaris sempurna, setidaknya hingga ia mulai merindukan bekerja di kantor seperti yang ia lakukan beberapa tahun lalu. Ia mulai merasa kesialan bertubi-tubi sedang senang menghampiri hidupnya. Puluhan lamaran pekerjaan yang nihil hasil, pernikahan bertahun-tahun tanpa buah hati, suaminya yang mulai sering keluar kota setelah mendapat promosi kenaikan jabatan. Lantas bagaimana jika tiba-tiba 2 kesempatan yang sangat ia tunggu-tunggu datang bersama namun hanya bisa ia pilih salah satu? 

The D. (Bagian 6)

 Terkadang hidup memang ngga selalu seperti yang kita ingin.

The D. (Bagian 5)

  Hari ini nampaknya menjadi salah satu hari yang paling ditunggu oleh ribuan siswa SMA di Indonesia, tak terkecuali Dharma. Kalender di kamarnya telah ia lingkari dengan tinta merah. Tulisan "The.D" tertulis besar-besar di sebelah lingkaran, menutupi deretan angka di sekitarnya. Bunda pun tak kalah antusias, sebulan terakhir Beliau nampak lebih rajin ke tempat ibadah. "Do'a baik seorang Ibu untuk anaknya tidak akan tertolak", begitu yakinnya. Dhamar memasuki gerbang sekolah dengan perasaan campur aduk pagi itu. Raut cemas, antusias dan pasrah bergantian menghiasi wajah teman-temannya. Beberapa siswa lingkar matanya sedikit menghitam tanda kurang tidur. "Kamu jadi ambil double degree Dhar" tanya Alex di sela sela mengerjakan tugas Sosiologi. Hari itu Bu Rahmi tidak datang ke sekolah karena harus mengikuti workshop di luar kota.  "Sepertinya begitu" jawab Dharma yang masih sibuk menulis.  "Bundamu sudah kasih izin? " Dharma terdiam s

The D. (Bagian 4)

Gambar
"Bu, menurut Bu Rahmi seberapa penting punya karir yg jelas dalam bekerja? Apa benar kalau guru ngga punya kejelasan jenjang karir" Dharma kembali membuka topik obrolan, kali ini nampak lebih serius. Bu Rahmi menyorokkan mangkuk mie ayam yg sudah kosong ke tepi, kemudian melipat tangan di atas meja. "Menurut kalian, karir itu apa?" Bu Rahmi balik bertanya, mimik mukanya serius. Dharma, Dimas, dan Alex kompak menggelengkan kepala. "Kalau begitu kalian cari tau dulu, kita ketemu lagi disini hari sabtu sepulang sekolah, oke?"  Bu Rahmi beranjak menuju kasir tanpa menunggu jawaban Dharma dan teman temannya.  "Sudah Ibu bayar. Ibu pamit dulu karena ada perlu di tempat lain. Kalian segera pulang, hati-hati di jalan" ucap Bu Rahmi seraya mencangklong ranselnya yang nampak berat. "Terimakasih banyak Bu" Bu Rahmi hanya memberi isyarat "OK" dengan tangannya. Ia berjalan cepat menuju mobil di seberang jalan yang baru saja terparkir 3 men

The D. (Bagian 3)

Gambar
  “Kapan batas pendaftaran SNMPTN nak, sudah memutuskan ingin ambil jurusan mana?” “Dua pekan lagi Bun” Hening, hanya ada suara dengkuran Upit yang sedang tidur di pangkuan Bunda diiringi nyanyian jangkrik dari halaman rumah. Sedari tadi Dharma nampak gelisah dan tidak tenang. “Kamu mau cerita apa? Atau ada yg mau ditanyakan?” ucap Bunda tiba-tiba seolah dapat menebak isi pikiran putranya. “Bun, kalau aku ambil jurusan pendidikan ekonomi bagaimana? kan nilai ekonomiku bagus, pasti lolos Bun” Dharma akhirnya memberanikan diri bertanya setelah sekian lama mengumpulkan nyali. Bunda meletakkan jarum dan benang rajutnya, kemudian membetulkan kacamata yang melorot ke hidung. “Pendidikan Ekonomi? Maksudnya manajemen ekonomi?” “Bukan Bun, jurusan pendidikan, Dharma ingin jadi guru” “Harus berapa kali Bunda bilang Dhar? Bunda ngga setuju kamu bekerja sebagai guru, guru itu bukan pekerjaan. Kamu boleh kuliah jurusan apapun, dimanapun, tapi bukan jurusan pendidikan dan bukan untuk bekerja sebagai

The D. (Bagian 2)

Gambar
  Dharma memandang kosong langit-langit kamarnya. Sejak dilarang Bunda ikut kegiatan volunteer, Dharma hanya menghabiskan hari minggunya di kamar, bermain PS atau sekedar tiduran sambil melamun seperti yang sedang ia lakukan sekarang.  Pikiran Dharma melayang, beradu dengan berisik isi kepalanya. Sudah satu pekan kalimat Bu Ning memenuhi kepalanya. Sesungguhnya ia masih belum mengerti mengapa ia harus mempertimbangkan jenjang karir dalam memilih pekerjaan. Ia belum akan bekerja. Ia hanya perlu memilih jurusan kuliah bukan? Tapi mengapa semua nampak rumit setelah diberi penjelasan oleh Bu Ning. Aahh… Dhama memang tidak benar-benar paham jalan pikiran orang dewasa.  “Ma.. Dharma” tiba-tiba Bunda melongok dari pintu kamar yang tidak ditutup. Sontak Dharma terbangun. “Iya Bun, ada apa?” “Itu ada Alex di depan, mau main katanya. Oh iya, Bunda minta tolong beli tepung sama minyak di warung dekat pasar, sekalian kamu belikan camilan untuk Alex ya” “Siap Bun, boleh bawa motor Bun?” “Iya boleh,

The D. (Bagian 1)

Gambar
“Sial, Bunda pasti marah. Kenapa sih harus ada karnaval sampai malam.. Aarrggh” Dharma memacu motornya lebih cepat, namun ia masih jauh dari rumah. “Ttiinn tiiinn tiinn” sebuah mobil polisi menghentikan laju motornya. “Apa lagi ini Tuhan” gerutu Dharma, membayangkan raut Bunda yang diselimuti amarah dan kecewa, ia sudah janji akan ada di rumah maksimal pukul 10 malam. Dua orang polisi nampak keluar dari mobil. “Selamat malam, Dek” “Iya Pak, selamat malam. Ada apa ya?” Polisi mengamati Dharma lekat-lekat, melirik logo SMA yang melekat di jaketnya. “Bisa lihat surat-surat kendaraannya? Adek sudah punya SIM?” Dharma tiba-tiba gugup, menyesali keputusannya menggunakan jaket SMA. Pasti polisi mengira ia masih bocah. “Punya lah Pak, nih” Dharma menyodorkan SIM dan surat-surat kendaraannya yang langsung diteliti oleh salah satu polisi. “Kami amati adek memacu motor kencang sekali, Adek dari mana dan mau kemana?” ujar polisi berkumis sambil menyerahkan surat-surat kendaraan dan SIM, nampak leb

Sulung

Gambar
Jarum jam menunjukkan pukul 1 malam namun Desi masih sibuk memastikan kesiapan acara besok pagi. Atau nanti pagi lebih tepatnya. Hampir semua orang sudah istirahat, hanya beberapa petugas dekorasi yang masih menata bunga dan beberapa hiasan lain.  Beberapa hari terakhir Desi merasa sulit tidur walau sebenarnya ia sedang sangat lelah. Hatinya gelisah menyambut hari penting yang akan segera datang. Cemas, bahagia, haru bercampur jadi satu. Rumah yang biasanya sepi, 3 hari ini ramai orang. Tetangga, tamu, petugas acara sibuk lalu lalang dengan kegiatan masing-masing. Tak ada yang tau, di balik senyuman dan keramahan Desi pada semua tamu yang datang, ada perasaan sepi yang sulit dideskripsikannya. “Mbak kok belum tidur?” tanya Bunda tiba-tiba. Mengagetkan Desi yang sedang merapikan dekorasi bunga di ruang tamu. Ruangan tersebut akan dijadikan tempat akad besok. “Masih merapikan ini Bu, sebentar lagi selesai” jawab Desi. “Nak, Bunda tau sebenarnya Mba sedih” ujar Bunda sembari duduk di sebe

Kenapa kita dibenci karena hal yang diluar kuasa kita?

Gambar
Sembilan ratus enam puluh lima hari berlalu sejak Aria memutuskan untuk menerima gadis pilihan Mamanya. Sebuah keputusan besar yang lagi-lagi tidak berasal dari dirinya sendiri. Tak bisa dipungkiri ada sedikit penyesalan karena tidak mampu memperjuangkan pilihannya. Percakapan dengan istrinya minggu lalu membuat Aria mempertanyakan kembali keputusan yang telah diambilnya. “Mas sayang aku ngga?” tanya istrinya malam itu. “Kenapa tiba-tiba tanya seperti itu Na” Aria heran. “Penasaran aja Mas, katanya sebagian besar laki-laki menikahi perempuan bukan karena dia mencintai perempuan tersebut tapi karena dia sudah siap menikah. Apa mas juga begitu?” hati-hati Isna mengatakannya, takut suaminya tersinggung. Aria mematung mendengar pertanyaan tersebut. Sedetik kemudian Aria memeluk istrinya sambil berkata “percayalah, wanita yang kucintai di dunia saat ini hanya ada dua, kamu dan Mama”. Isna balas memeluk suaminya. Hatinya hancur, ia tahu Aria menikahinya bukan karena cinta.  Hari itu Aria kem

Aku juga ingin ...

Gambar
  Matahari sore mulai menyingsing menghadirkan teduh. Langit yang biru dengan sedikit awan menandai musim pancaroba.  Es matcha kesukaan Isna hanya diminumnya sedikit. Sudah satu jam ia duduk sendirian, berkali kali membuka dan menutup aplikasi sosial media yang ada di ponselnya. “Ngga ada kabar dari Mas” gumamnya sambil memandangi ponsel gusar, bosan sedari tadi pesan yang dia tunggu tidak kunjung muncul.  Sebulan terakhir tiap akhir pekan suaminya tidak pernah di rumah. Ada saja kegiatan di kampus, pelantikan lah, rapat lah, penelitian lah, mendampingi kegiatan mahasiswa lah. “Percuma ditunggu, Mas ngga mungkin chat kalau sedang sibuk” ujar Isna sambil meletakkan ponselnya kesal, kemudian menyalakan laptop untuk menyelesaikan invoice pesanan yang sudah menumpuk sejak kemarin lusa. “Drrrt ddrrrrttt…” ponsel Isna bergetar panjang, tanda ada panggilan masuk. Tulisan *Mas Ariia-ku* tertampil pada layar ponsel. Buru-buru Isna mengangkat panggilan telepon tersebut. “Assalamualaikum Na, sed

Belajar komitmen melalui pacaran, yakin?

Gambar
  "Eeh guys, mau tanya dong" ucap seorang gadis bermata coklat melempar topik. "Jangan tanya aneh aneh deh" timpal seseorang di sebelahnya. "Ya gimana, bosen tau! Sedari tadi diem-dieman terus" protesnya, tidak terima diacuhkan.  "Ya kan kita masih mengerjakan tuuggass" jawab 5 orang temannya bersamaan, sudah seperti tim paduan suara.  "Emang mau tanya apa sih, Res?" tanya salah satu temannya, penasaran.  "Bener ngga sih, meski udah pacaran bertahun tahun tapi lelaki itu bakal cenderung menikahi wanita yg ada dan dekat sama dia saat dia sudah siap?" ucap Resti memaparkan pertanyaannya  "Terus, kalau gitu pacaran lama tetap tidak menjamin pasti akan dinikahi gitu" "Yaa kurang lebih begitu. Belajar komitmen melalui pacaran itu hanya berlaku buat para perempuan, kalau laki laki maah …" jawab salah satu lelaki berambut ikal. "Wooii woooiii woiii, jangan buka kartu doongggg" seru seorang lelaki berkaca

Izinkan Kamu Ditolong, ya?

Gambar
  “Praang..” suara barang jatuh terdengar dari ruang tengah, kali ini terdengar seperti vas bunga yang pecah.  Sudah 10 menit Fajar meringkuk ketakutan dalam kamarnya. 20 menit yang lalu Ayahnya pulang dalam keadaan mabuk dan membuat Ibunya murka. Fajar yang sebelumnya tertidur di sofa ruang tengah langsung berlari menuju kamarnya, hal yang selalu ia lakukan jika kedua orangtuanya mulai bertengkar.  “Darimana saja kamu Mas jam segini baru pulang?” tanya Sani sambil menahan amarah. “Ya darimana lagi kalau tidak kerja” jawab suaminya acuh sembari menjatuhkan badan di sofa, kemudian mulai menyalakan rokok. “Buang rokokmu Mas” kata Sani berusaha merebut rokok yang ada di tangan suaminya. “Apa apaan kamu” suaminya menepis tangan Sani. “Mas sudah berapa kali aku bilang untuk tidak merokok di rumah, dan lagi, sejak kapan kamu jadi mabuk mabukan begini?”  “Bukan urusanmu! Kamu fokus kerja saja sana, cari uang yang banyak untuk anak kesayanganmu itu!” Suaminya mulai meninggikan suara. “Ya ngga

Hadapi atau Lari?

Gambar
Gerimis masih saja turun sejak Tari dan Lista memutuskan berjalan lebih dahulu dari rombongan, menyusul 2 orang tim yg ada di depan. 2 jam berlalu, hingga jalan setapak yang mereka lalui mulai menyempit dan semakin samar. “Kamu yakin jalannya lewat sini?” tanya Lista “Harusnya sih iya, kita ngga ada lihat persimpangan jalan kan tadi? Setapaknya juga ini ini aja” jawab Tari. “Duuhh udah hampir 3 jam loh ini kita jalan, kenapa ngga sampai sampai juga. Tadi Afi bilangnya udah deket kan?” “Ya sabar Lis, mau lari nyusul Tama dan Rizki juga terlalu jauh, kabut udah turun, yg ada malah nyasar nanti” ujar Tari berusaha menenangkan Lista. “Huuuuhh… kenapa pula tadi kita sok sok an jalan dulu yaaa.. Gini deh jadinya” gerutu Lista sambil sesekali menebas ranting yg melintang di depannya. "Apa mau nunggu rombongan yg di belakang?" tawar Tari Lista hanya diam dan terus berjalan. Tari hanya tersenyum maklum, sahabatnya memang begitu, selalu mengeluh tapi ngga pernah nyerah. Pokok prinsip h