Kenapa kita dibenci karena hal yang diluar kuasa kita?


Sembilan ratus enam puluh lima hari berlalu sejak Aria memutuskan untuk menerima gadis pilihan Mamanya. Sebuah keputusan besar yang lagi-lagi tidak berasal dari dirinya sendiri. Tak bisa dipungkiri ada sedikit penyesalan karena tidak mampu memperjuangkan pilihannya.
Percakapan dengan istrinya minggu lalu membuat Aria mempertanyakan kembali keputusan yang telah diambilnya.
“Mas sayang aku ngga?” tanya istrinya malam itu.
“Kenapa tiba-tiba tanya seperti itu Na” Aria heran.
“Penasaran aja Mas, katanya sebagian besar laki-laki menikahi perempuan bukan karena dia mencintai perempuan tersebut tapi karena dia sudah siap menikah. Apa mas juga begitu?” hati-hati Isna mengatakannya, takut suaminya tersinggung.
Aria mematung mendengar pertanyaan tersebut. Sedetik kemudian Aria memeluk istrinya sambil berkata “percayalah, wanita yang kucintai di dunia saat ini hanya ada dua, kamu dan Mama”. Isna balas memeluk suaminya. Hatinya hancur, ia tahu Aria menikahinya bukan karena cinta. 

Hari itu Aria kembali mengunjungi salah satu cafe di sudut Kota Bogor. Setiap kali ada kegiatan di Bogor, Aria memang selalu menyempatkan pergi ke cafe tersebut. Ya, artinya nyaris tiap bulan Aria berkunjung. 
Sejak sore gerimis menghiasi Kota Hujan, pengunjung cafe pun tidak banyak. Hanya ada beberapa mahasiswa yang sedang mengerjakan tugas kuliahnya. 
Aria duduk di kursi bar menunggu barista meracik kopi pesanannya.
“Cappuccino - less sugar. Tumben ngga bawa laptop Bang?” tanya barista sambil menyajikan pesanan Aria. Mereka memang sudah saling kenal sejak lama bahkan sejak Aria kuliah.
“Lagi suntuk” jawab Aria singkat.
“Masalah pekerjaan atau istri? Gimana rasanya jadi dosen? Pusing ya? Eeh dua hari lalu Neng Mita kesini, duduk di tempat biasa sama Abang, sibuk banget sepertinya” Sandi langsung menyerocos tanpa memberi kesempatan Aria menjawab.
“Mita ya, apakabar dia” ujar Aria lirih namun berhasil ditangkap Sandi.
“Makin kurus sekarang dia Bang, mikir tesis mungkin ya. Sudah hampir 5 bulan ngga kesini, padahal dulu hampir tiap minggu kesini sama Bang Aria” jawab Sandi tanpa diminta.
“Bang Vanilla latte dua ya” seru seorang pelanggan tiba-tiba, membuyarkan percakapan keduanya.
“Aku tinggal dulu ya Bang” pamit Sandi berisap membuatkan pesanan Vanilla latte.
Aria hanya mengangguk mempersilahkan. 

Aria memutar pandangan, mengamati meja tempatnya dulu bercengkrama dengan Mita yang sekarang kosong. Meja yang menjadi saksi diskusi panjangnya dengan gadis keras kepala namun luar biasa sabar. Meja yang menjadi sasaran kekesalan Mita saat data yang diprosesnya gagal.
Ingatan Aria semakin terseret ke dalam memori beberapa tahun lalu. Masa-masa yang sulit dilupakannya, masa perjuangan, masa banyak belajar hal baru, dan masa penuh kenangan dan impian. Bagaimana bisa Aria melupakan gadis tersebut. Baginya Mita adalah sosok yang paling bisa mengerti dirinya. Paling sabar menghadapi emosinya. Juga paling mampu mendorongnya bertindak taktis dan efisien. 
Saling melengkapi, begitulah kira-kira gambaran keduanya. 
Namun, apa boleh buat, Aria harus melewatkan gadis tersebut.
Banyaknya dukungan dari teman dan sekitar ternyata tidak dapat mempengaruhi restu orang tua. Mama Aria menentang habis habisan ketika Aria mengutarakan niatnya untuk menjalin hubungan yang lebih serius dengan Mita. Alasannya? masalah suku. Sungguh alasan yang menurut Aria sulit diterima. Bukankah kita tidak bisa memilih terlahir dari suku apa, ras apa, orang tua yang seperti apa? Lantas kenapa kita dibenci karena hal yang diluar kuasa kita?


 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rinai

Perihal Pulang

Terus kita gimana?