Postingan

Rinai

Gambar
Apa memang masing-masing dari kita punya "jatah keberuntungan" yang pada masanya akan habis? Yang orang tau hidupku nyaris sempurna, tapi bagaimana jika ternyata jatah keberuntunganku sudah habis? Sinopsis:  Hidup Rinai berjalan mulus dan nyaris sempurna, setidaknya hingga ia mulai merindukan bekerja di kantor seperti yang ia lakukan beberapa tahun lalu. Ia mulai merasa kesialan bertubi-tubi sedang senang menghampiri hidupnya. Puluhan lamaran pekerjaan yang nihil hasil, pernikahan bertahun-tahun tanpa buah hati, suaminya yang mulai sering keluar kota setelah mendapat promosi kenaikan jabatan. Lantas bagaimana jika tiba-tiba 2 kesempatan yang sangat ia tunggu-tunggu datang bersama namun hanya bisa ia pilih salah satu? 

The D. (Bagian 6)

 Terkadang hidup memang ngga selalu seperti yang kita ingin.

The D. (Bagian 5)

  Hari ini nampaknya menjadi salah satu hari yang paling ditunggu oleh ribuan siswa SMA di Indonesia, tak terkecuali Dharma. Kalender di kamarnya telah ia lingkari dengan tinta merah. Tulisan "The.D" tertulis besar-besar di sebelah lingkaran, menutupi deretan angka di sekitarnya. Bunda pun tak kalah antusias, sebulan terakhir Beliau nampak lebih rajin ke tempat ibadah. "Do'a baik seorang Ibu untuk anaknya tidak akan tertolak", begitu yakinnya. Dhamar memasuki gerbang sekolah dengan perasaan campur aduk pagi itu. Raut cemas, antusias dan pasrah bergantian menghiasi wajah teman-temannya. Beberapa siswa lingkar matanya sedikit menghitam tanda kurang tidur. "Kamu jadi ambil double degree Dhar" tanya Alex di sela sela mengerjakan tugas Sosiologi. Hari itu Bu Rahmi tidak datang ke sekolah karena harus mengikuti workshop di luar kota.  "Sepertinya begitu" jawab Dharma yang masih sibuk menulis.  "Bundamu sudah kasih izin? " Dharma terdiam s

The D. (Bagian 4)

Gambar
"Bu, menurut Bu Rahmi seberapa penting punya karir yg jelas dalam bekerja? Apa benar kalau guru ngga punya kejelasan jenjang karir" Dharma kembali membuka topik obrolan, kali ini nampak lebih serius. Bu Rahmi menyorokkan mangkuk mie ayam yg sudah kosong ke tepi, kemudian melipat tangan di atas meja. "Menurut kalian, karir itu apa?" Bu Rahmi balik bertanya, mimik mukanya serius. Dharma, Dimas, dan Alex kompak menggelengkan kepala. "Kalau begitu kalian cari tau dulu, kita ketemu lagi disini hari sabtu sepulang sekolah, oke?"  Bu Rahmi beranjak menuju kasir tanpa menunggu jawaban Dharma dan teman temannya.  "Sudah Ibu bayar. Ibu pamit dulu karena ada perlu di tempat lain. Kalian segera pulang, hati-hati di jalan" ucap Bu Rahmi seraya mencangklong ranselnya yang nampak berat. "Terimakasih banyak Bu" Bu Rahmi hanya memberi isyarat "OK" dengan tangannya. Ia berjalan cepat menuju mobil di seberang jalan yang baru saja terparkir 3 men

The D. (Bagian 3)

Gambar
  “Kapan batas pendaftaran SNMPTN nak, sudah memutuskan ingin ambil jurusan mana?” “Dua pekan lagi Bun” Hening, hanya ada suara dengkuran Upit yang sedang tidur di pangkuan Bunda diiringi nyanyian jangkrik dari halaman rumah. Sedari tadi Dharma nampak gelisah dan tidak tenang. “Kamu mau cerita apa? Atau ada yg mau ditanyakan?” ucap Bunda tiba-tiba seolah dapat menebak isi pikiran putranya. “Bun, kalau aku ambil jurusan pendidikan ekonomi bagaimana? kan nilai ekonomiku bagus, pasti lolos Bun” Dharma akhirnya memberanikan diri bertanya setelah sekian lama mengumpulkan nyali. Bunda meletakkan jarum dan benang rajutnya, kemudian membetulkan kacamata yang melorot ke hidung. “Pendidikan Ekonomi? Maksudnya manajemen ekonomi?” “Bukan Bun, jurusan pendidikan, Dharma ingin jadi guru” “Harus berapa kali Bunda bilang Dhar? Bunda ngga setuju kamu bekerja sebagai guru, guru itu bukan pekerjaan. Kamu boleh kuliah jurusan apapun, dimanapun, tapi bukan jurusan pendidikan dan bukan untuk bekerja sebagai

The D. (Bagian 2)

Gambar
  Dharma memandang kosong langit-langit kamarnya. Sejak dilarang Bunda ikut kegiatan volunteer, Dharma hanya menghabiskan hari minggunya di kamar, bermain PS atau sekedar tiduran sambil melamun seperti yang sedang ia lakukan sekarang.  Pikiran Dharma melayang, beradu dengan berisik isi kepalanya. Sudah satu pekan kalimat Bu Ning memenuhi kepalanya. Sesungguhnya ia masih belum mengerti mengapa ia harus mempertimbangkan jenjang karir dalam memilih pekerjaan. Ia belum akan bekerja. Ia hanya perlu memilih jurusan kuliah bukan? Tapi mengapa semua nampak rumit setelah diberi penjelasan oleh Bu Ning. Aahh… Dhama memang tidak benar-benar paham jalan pikiran orang dewasa.  “Ma.. Dharma” tiba-tiba Bunda melongok dari pintu kamar yang tidak ditutup. Sontak Dharma terbangun. “Iya Bun, ada apa?” “Itu ada Alex di depan, mau main katanya. Oh iya, Bunda minta tolong beli tepung sama minyak di warung dekat pasar, sekalian kamu belikan camilan untuk Alex ya” “Siap Bun, boleh bawa motor Bun?” “Iya boleh,

The D. (Bagian 1)

Gambar
“Sial, Bunda pasti marah. Kenapa sih harus ada karnaval sampai malam.. Aarrggh” Dharma memacu motornya lebih cepat, namun ia masih jauh dari rumah. “Ttiinn tiiinn tiinn” sebuah mobil polisi menghentikan laju motornya. “Apa lagi ini Tuhan” gerutu Dharma, membayangkan raut Bunda yang diselimuti amarah dan kecewa, ia sudah janji akan ada di rumah maksimal pukul 10 malam. Dua orang polisi nampak keluar dari mobil. “Selamat malam, Dek” “Iya Pak, selamat malam. Ada apa ya?” Polisi mengamati Dharma lekat-lekat, melirik logo SMA yang melekat di jaketnya. “Bisa lihat surat-surat kendaraannya? Adek sudah punya SIM?” Dharma tiba-tiba gugup, menyesali keputusannya menggunakan jaket SMA. Pasti polisi mengira ia masih bocah. “Punya lah Pak, nih” Dharma menyodorkan SIM dan surat-surat kendaraannya yang langsung diteliti oleh salah satu polisi. “Kami amati adek memacu motor kencang sekali, Adek dari mana dan mau kemana?” ujar polisi berkumis sambil menyerahkan surat-surat kendaraan dan SIM, nampak leb