The D. (Bagian 1)





“Sial, Bunda pasti marah. Kenapa sih harus ada karnaval sampai malam.. Aarrggh”

Dharma memacu motornya lebih cepat, namun ia masih jauh dari rumah.

“Ttiinn tiiinn tiinn” sebuah mobil polisi menghentikan laju motornya.

“Apa lagi ini Tuhan” gerutu Dharma, membayangkan raut Bunda yang diselimuti amarah dan kecewa, ia sudah janji akan ada di rumah maksimal pukul 10 malam.

Dua orang polisi nampak keluar dari mobil. “Selamat malam, Dek”

“Iya Pak, selamat malam. Ada apa ya?”

Polisi mengamati Dharma lekat-lekat, melirik logo SMA yang melekat di jaketnya. “Bisa lihat surat-surat kendaraannya? Adek sudah punya SIM?”

Dharma tiba-tiba gugup, menyesali keputusannya menggunakan jaket SMA. Pasti polisi mengira ia masih bocah. “Punya lah Pak, nih” Dharma menyodorkan SIM dan surat-surat kendaraannya yang langsung diteliti oleh salah satu polisi.

“Kami amati adek memacu motor kencang sekali, Adek dari mana dan mau kemana?” ujar polisi berkumis sambil menyerahkan surat-surat kendaraan dan SIM, nampak lebih ramah dari polisi yang satunya.

“Maaf pak, saya sedikit terburu-buru karena sudah malam. Tadi ada karnaval, jalanan macet sampai tidak bisa lewat” Dharma terus melirik jam tangannya.

“Rumahnya mana? Biar kami kawal karena daerah sini rawan klitih”

“Eeh, beneran Pak?”

“Iya, ayo, Adek jalan di depan, ngga perlu ngebut lagi”

“Ooh baik Pak, terimakasih banyak” 

Dharma menghembuskan napas lega, tanpa sadar sedari tadi ia menahan nafas.



***


Rumah sudah gelap ketika Dharma pulang. Ia membuka gerbang dengan kunci cadangan yang selalu menggantung bersama kunci motor. Pelan-pelan Dharma memasukkan motor ke dalam garasi kemudian masuk ke dalam rumah. Rumah begitu sepi hingga Dharma bisa mendengar deru nafas dan degup jantungnya.

“Kayaknya Bunda sudah tidur” batin Dharma sambil mengunci pintu dengan sangat hati hati.

Ia kemudian berjalan mengendap ke kamarnya seolah langkahnya bisa mengguncang bangunan rumah. 

Tanpa suara ia menutup pintu kamar dan merebahkan diri di tempat tidur, ada sedikit kelegaan, tapi kekhawatiran lebih mendominasi pikirannya. Aneh sekali Bunda tidak menunggunya pulang seperti biasa. Firasat buruk mengiringi tidur Dharma.


***


"Mulai hari ini kamu ngga boleh bawa motor sendiri, Bunda akan antar jemput ke sekolah, ekskul hanya boleh sampai jam 5 sore, ngga ada lagi kegiatan di luar sampai kamu ujian kelulusan" 

Dharma langsung tersedak mendengar ultimatum Bunda yg diucap dengan tenang, dingin, dan tanpa ekspresi. 

Gawat! Bunda benar-benar marah besar. Bahkan Bunda tidak menyiapkan sarapan di meja makan pagi itu. Beliau hanya sibuk membersihkan dapur setelah memasak. 

"Bunda ngga suka kamu ikut kegiatan ngajar-ngajar apa lah itu, sudah berapa kali kamu pulang larut malam karena ikut kegiatan itu"

"Tapi Bun…"

"Ngga ada tapi tapi, Bunda sudah kasih cukup kesempatan" potong Bunda, tidak mengizin Dharma membela diri lagi. Kali ini kesabarannya telah habis.

Dharma hanya bisa menunduk pasrah, menatap nasi yg baru dimakannya satu suap. Ia memang bersalah telah membuat Bunda kecewa, tp kejadian kemarin benar-benar di luar kendalinya.

“Segera habiskan sarapanmu, 10 menit lagi kita berangkat” titah Bunda sembari menuju kamar mandi. 

Dharma berusaha menelan makanannya. Hening, hanya ada suara sendok dan piring yang beradu. Selera makannya lenyap sudah, ditelan amarah Bunda barusan.

“Andai Ayah masih ada, pasti Ayah akan bantu menenangkan Bunda”. 


***


“Kenapa lu, kusut amat masih pagi gini?” sapa Alex.

“La lu la lu” sungut Dharma mengabaikan Alex.

“Yo man, maaf lah, masih belum terbiasa manggil kamu-aku, geli banget”  Alex menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

“Kau kira aku senang kau panggil ‘Lu’” Dharma sengaja menggunakan logat Kakeknya yg menurut Alex aneh. 

"Hahaha iya iya. Maaf ya. Jadi kenapa? Dimarahin Bunda lagi?" 

"Kali ini lebih parah, Lex, Bunda ngga kasih izin aku bawa motor lagi …" 

"Hah? Terus? Bunda akan antar jemput setiap hari?" 

"Tepat, kayaknya aku juga ngga bisa ikut volunteer tiap Minggu" Dharma menghela nafas panjang.

"Waah, man, ngga bisa gitu dong, kan kamu kepala divisi humas"

"Sorry Lex, aku ngga bisa berbuat apa apa kali ini. Aku juga bingung"

Selamat datang hari-hari membosankan. Batin Dharma, untuk kesekian kalinya ia menghela nafas panjang. 

Alex hanya bisa menepuk pundak sahabatnya sembari beriringan menuju kelas mereka. 


***


Bu Rahmi sedang memaparkan permasalahan sosial di era disrupsi ketika Pak Irfan masuk kelas dan menyela kegiatan pembelajaran.

“Selamat Pagi anak-anak, maaf Pak Irfan mengganggu kegiatan belajarnya. Pak Irfan ada perlu dengan beberapa orang terkait SNMPTN, untuk nama-nama yang Pak Irfan panggil mohon menuju ruang BK ya”.

Suasana kelas berubah rius ketika satu persatu nama-nama siswa yang ada di kelas itu dipanggil. Kecemasan tergambar jelas di raut beberapa siswa.

“... dan terakhir. Jayantaka Dharma Rajendra”

Beberapa siswa bersorak kecewa karena namanya tidak dipanggil.

“Tenang, tenang, semua siswa akan tetap didaftarkan dalam SNMPTN. Nama-nama yang Bapak panggil tadi hanya sebagian yang harus didata lebih awal.” Pak Irfan berusaha menenangkan kelas yang gaduh.

“Lex, aku nanti pinjam catatanmu ya, catat yang bener” pesan Dharma sebelum beranjak dari bangkunya. 

“Siap Boss, atau nanti tanya minta jelaskan ke Bu Rahmi langsung saja sekalian caper” 

“Hussh.. Ngawur kamu” Alex tergelak mendengar respon Dharma, membuat beberapa siswa menoleh ke arah mereka.



***


Hampir setengah jam Dharma bersama 2 orang temannya menunggu antrian konseling di ruang BK. 

“Kok lama ya, boleh ngga kalau nunggu di kelas saja? Eman banget harus ninggal pelajarannya Bu Rahmi” ucap salah seorang siswi dengan rambut ekor kuda, tak bisa menyembunyikan rasa bosannya lagi.

“Halah, biasanya kamu di kelas cuman tidur gitu Ndri”.

“Mana pernah aku tidur di kelasnya Bu Rahmi” sahut Indri, tidak terima dengan tuduhan Laila.

“Iya sih, sepertinya hanya di kelasnya Bu Rahmi kamu ngga pernah tidur”.

Dharma hanya manggut-manggut mendengar perdebatan kedua temannya tersebut. Bu Rahmi memang salah satu guru yang bisa membuat suasana kelas hidup.Saat teman-temannya bosan, Bu Rahmi langsung bisa menangkap hal tersebut dan refleks membuat kegiatan yang menyenangkan. Tak jarang beliau mengadakan kuis dadakan dan membuat teman-temannya kelabakan. Namun tetap saja Bu Rahmi menjadi salah satu guru favoritnya.

Bu Rahmi juga salah satu dari segelintir orang yang mendukung keinginan Dharma untuk menjadi guru. “Guru itu tugas mulia Dhar, tantangannya berat, tanggung jawabnya besar. Ada satu hal yang perlu kamu ingat, kamu harus punya pendapatan lain ketika nanti memilih jadi guru, jangan bergantung pada gaji guru” pesan Bu Rahmi yang selalu diucapkan ketika Dharma mengeluhkan tentang orang-orang yang tidak mendukung keinginannya. 

Andai saja Bunda seperti Bu Rahmi, batin Dharma.


 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rinai

Perihal Pulang

Terus kita gimana?