The D. (Bagian 2)

 




Dharma memandang kosong langit-langit kamarnya. Sejak dilarang Bunda ikut kegiatan volunteer, Dharma hanya menghabiskan hari minggunya di kamar, bermain PS atau sekedar tiduran sambil melamun seperti yang sedang ia lakukan sekarang. 

Pikiran Dharma melayang, beradu dengan berisik isi kepalanya. Sudah satu pekan kalimat Bu Ning memenuhi kepalanya. Sesungguhnya ia masih belum mengerti mengapa ia harus mempertimbangkan jenjang karir dalam memilih pekerjaan. Ia belum akan bekerja. Ia hanya perlu memilih jurusan kuliah bukan? Tapi mengapa semua nampak rumit setelah diberi penjelasan oleh Bu Ning.

Aahh… Dhama memang tidak benar-benar paham jalan pikiran orang dewasa. 


“Ma.. Dharma” tiba-tiba Bunda melongok dari pintu kamar yang tidak ditutup. Sontak Dharma terbangun. “Iya Bun, ada apa?”

“Itu ada Alex di depan, mau main katanya. Oh iya, Bunda minta tolong beli tepung sama minyak di warung dekat pasar, sekalian kamu belikan camilan untuk Alex ya”

“Siap Bun, boleh bawa motor Bun?”

“Iya boleh, buruan, minyaknya mau Bunda gunakan untuk menggoreng ayam”

“Yeesss..!! Oke Bundaa yang baik” Dharma langsung memeluk Bunda, kemudian melesat mengambil kunci motor dan menghampiri Alex yang berada di ruang tamu.

“Dasar remaja” Bunda hanya bisa geleng-geleng kepala melihat kelakuan putra bungsunya.


“Lex, let’s go?”

“Lhah kemane? Bukannya salam dulu, langsung nyelonong ngajak pergi aja ni bocah”

“Situ juga bocah hei, udah yok buruan ikut” seru Dharma yang sudah nangkring di atas jok motor sambil mengenakan helm, membuat Alex bingung. “Bukannya Dharma ngga boleh bawa motor sendiri” gumam Alex yang masih mematung di ruang tamu.

“Ayok woi”

“Ngga pamit Bunda?”

“Sudah” tukas Alex singkat sambil menyalakan mesin motornya

“Bude, kami pamit keluar dulu nggih” lamat-lamat terdengar suara Alex dari dalam rumah. Dharma sudah tidak sabar memacu motornya. Akhirnya setelah nyaris sebulan ia bisa naik motor lagi! Dharma bersiul riang sepanjang jalan, sesekali menyapa warga yang dikenalnya. Sungguh hari yang sempurna!


***

“Kamu sudah tau mau kuliah dimana Lex?” Dharma membuka obrolan. Pisang goreng buatan Bunda dan es degan tersaji di meja sebelah mereka.

“Belom, dipikir nanti lah, ujian aja belum udah mikir kuliah” Alex merespon sekenanya, ia lebih tertarik memotret Upit yang sedang berusaha menangkap kupu-kupu di halaman rumah Dharma. Kali ini Upit nampak bersiap menerkam, kaki belakangnya bergerak cepat, menjejak tanah yang sama berkali kali. Sedetik kemudian ia berlari kencang dan hap! sebuah lompatan sempurna. Seekor kupu-kupu nampak berusaha kabur dari cengkraman Upit. Keduanya berguling di rumput.

“Yesss dapet!” Alex berseru girang memamerkan hasil jepretannya, Upit yang sedang melayang di udara, kaki depannya menyentuh ujung kupu-kupu. 

“Waah, bagus banget ini Lex, tinggal edit tone warnanya supaya lebih tajam”. Alex hanya mengangguk bangga, ia fokus melihat hasil foto yg lain.

“Kenapa kamu ngga ambil DKV aja Lex? Kan kamu senang fotografi sejak lama. Hasil fotomu juga bagus”

“Mami ingin aku jadi arsitek saja, tapi sepertinya aku lebih tertarik desain interior”

Dharma hanya bisa ber-ooh-ria, ia kembali berkutat dengan pikirannya sendiri. Ia masih berusaha mencerna kalimat Bu Ning tempo hari, bahkan Dharma sampai mencatat di buku jurnalnya karena belum juga memahami maksud Bu Ning.


“Kalau jadi guru, kemungkinan jenjang karirnya hanya sampai di tahap ASN saja, Dharma harus punya jenjang karir sendiri supaya bisa berkembang. Kalau tidak salah, tahun depan untuk guru tidak ada pengangkatan ASN, hanya ada pengangkatan PPPK”

“PPPK itu apa Bu?

“Semacam tenaga kontrak yang digaji oleh pemerintah. Untuk saat ini, belum ada kebijakan jenjang karir maupun jabatan fungsional untuk formasi PPPK.” Dharma hanya terdiam menyimak penjelasan Bu Ning di ruang BK.

“Kalau tujuan Dharma ingin menjadi guru untuk berbagi ilmu, perlu diketahui kalau tidak harus menjadi guru untuk berbagi ilmu. Dharma bisa menjadi ahli di suatu bidang dan membagikan ilmu tentang bidang tersebut. Namun jika memang memutuskan untuk kuliah mengambil jurusan pendidikan dan menjadi guru, Dharma harus siap dengan semua konsekuensinya." Dharma mengangguk-angguk meski tak sepenuhnya paham. 


"Dharma, Alex, makan nak" suara Bunda membuyarkan lamunan Dharma soal diskusi dengan Bu Ning.

Sedetik kemudian tiba tiba dari arah kanan, Upit berlari secepat kilat, menginjak perut Dharma, dan langsung melesat menuju dapur. "Auuch, dasar dugong gatau diri, dikira dia seringan kapas apa asal injak perut orang".

"Kita yang dipanggil, kenapa dia yg datang duluan?" gumam Alex heran, mengabaikan keluhan Dharma.


Di ruang makan Bunda tampak sibuk mengaduk sesuatu, sedangkan Upit berdiri di atas meja tepat di depan Bunda.

"Heeh gendut, turun, ga sopan sekali naik ke meja" ucap Dharma sambil melempar boneka kecil berbentuk bola ke arah Upit yang langsung dibalas dengan pelototan galak Bunda. 

Alex hanya bisa tertawa melihat keluarga sahabatnya tersebut.

"Makan sana, gausah ganggu Upit. Sini Pit sama Bunda" Bunda menjauh ke dapur diikuti Upit yg berjalan dengan pongah, ekornya dikibas-kibaskan seolah mengejek Dharma yg bersungut sebal. 


“Kalau kamu nanti kuliah, berarti Bunda akan sendirian dong” kata Alex tiba-tiba menarik perhatian Dharma.

Dharma hanya terdiam melahap makanannya, tidak menyangka Alex akan melontarkan pertanyaan itu. 

“Kamu yakin mau kuliah di Bandung dan meninggalkan Bundamu disini” 

“Serius amat, Bunda tuh ngga sendiri, noh ada Upit kesayangannya” 

“Ya kan beda Dhar, hadeeehhh”

“Sudah sudah, ayo makan. Ngga baik makan sambil ngobrol” Dharma berusaha mengakhiri pembicaraan.

“Jawab dulu hei”

“Lex, Bandung Jogja itu dekat, tiket kereta juga murah, aku bisa pulang tiap akhir pekan kalau mau” Dharma menyerah dan memilih menjawab pertanyaan Alex.  


Tanpa Dharma dan Alex sadari, ternyata Bunda mendengar semua percakapan mereka.

“Kok Bandung?” Dua hari lalu Wali Kelas Dharma menyampaikan kalau Dharma akan mendaftar di Manajemen UI seperti yang diinginkan Bunda. Seketika itu juga Bunda langsung menghubungi sahabat lamanya yang tinggal di Jakarta untuk “dititipi” jika nanti Dharma kuliah disana. Bahkan diam-diam Bunda mencari calon tempat kos untuk Dharma melalui situs online. 

“Kenapa malah ke Bandung ya? Kenapa Dharma ngga cerita kalau daftar di Bandung? Apa Dharma sengaja menutupi? Tapi untuk apa?” Bunda mulai gusar.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rinai

Perihal Pulang

Terus kita gimana?