Menitip (r)asa pada atap tertinggi Jawa (Bagian 2)

Nampaknya gunung memang tempat terbaik untuk melarikan diri dari segala hiruk pikuk dan ambisi duniawi 


Matahari sudah tinggi tepat di atas kepala saat kami memulai perjalanan menyusuri jalan Lumajang-Malang. 20 menit berjalan nampak sebuah gapura berdiri kokoh di hadapan kami, menandai awal pendakian Gunung Semeru. Setelah melakukan pengecekan tiket oleh petugas di pos pengecekan yang terletak di seberang gapura, kami berfoto sejenak untuk kemudian melanjutkan perjalanan.
Gerbang masuk menuju jalur pendakian Semeru
Hamparan perkebunan warga menyambut kedatangan kami, pemandangan yang sejak beberapa jam yang lalu menyita perhatianku. Yaaps jalan menuju Ranupane memang diapit perkebunan warga yang membuat siapapun ingin menghirup oksigen sebanyak mungkin dan menyimpan kesejukannya dalam paru-paru. Cuaca cukup cerah hari itu, awan nampak beriringan tertiup angin. Jalur setapak yang sedikit rimbun membantu melindungi kami dari sengatan terik matahari.
Ponsel ku sudah berada dalam mode pesawat sejak kami mengurus simaksi di pos perijinan. Telah kuputuskan untuk menikmati suasana dan menjauhkan diri dari ponsel yang akhir-akhir ini membuat manusia jadi semakin tidak manusiawi. Sebuah teknologi kecil yang seringkali membuat kita mengabaikan orang-orang yang ada di sekitar kita. Sungguh ironi mengingat teknologi juga memudahkan kita berkomunikasi dengan orang lain yang berjarak jauh.

Hari itu pendakian Gunung Semeru cukup ramai, mungkin karna masih suasana liburan juga. Berkali-kali kami berpapasan dengan pendaki lain yang akan turun ke basecamp Ranupane, maklum hari memang sudah siang saatnya mereka yang akan pulang bergegas turun ke basecamp. Tapi ada yang berbeda dari perjalananku kali ini. Hhhmmm gimana yaaa. Rasanya lebih hidup, lebih ramah, lebih hangat, lebih ramai. Tak seperti perjalanan-perjalanan sebelumnya, kali ini hampir semua pendaki baik yang berpapasan maupun yang mendahului langkah kami, saling menyapa dan saling menyemangati. Aku pun terheran, kenapa rasanya disini orang-orang ramah sekali ya, aku yang biasanya lebih banyak diam jadi ikutan rame mengimbangi semangat yang dilontarkan. Apa karena ada Bapak yang sedari tadi banyak menyapa pendaki lain? Dukungan dari pendaki lain pun rasa-rasanya lebih banyak ditujukan untuk Bapak. Yaa kuakui Bapak memang nampak lebih senior dengan carrier besar dan uban yang menyelip keluar dari balik topinya. Haha wajar saja, selain sikap Bapak yang ramah, pendaki lain kemungkinan juga penasaran dengan keberadaan Bapak di rombongan kami.

Kehebohan pun bertambah saat kami sampai di pos 2 dan bertemu dengan seorang Bapak Bapak (sebut saja Pak S) yang ternyata usianya lebih banyak ketimbang Bapak (akhirnya ada yang lebih senior, wkwkw). Hanya saja beliau tidak beruban sehingga tidak nampak kalau usianya sudah banyak, hihihi. Selidik punya selidik, ternyata Pak S ini sudah berkali kali menyambangi Ranukumbolo di musim kemarau untuk melihat langsung embun es yang terkadang muncul disana saat kemarau mencapai puncaknya. Tapi sepertinya Pak S harus mencoba lagi di lain waktu, hehe, semangat Pak! Setelah bercuap-cuap ria, kami melanjutkan perjalanan ke pos selanjutnya. Jarak pos 2 ke pos 3 ini lumayan panjang karena kami harus mengelilingi bukit, namun medannya cukup datar dan tidak terlalu menguras tenaga, hanya butuh konsistensi dan ritme jalan yang stabil supaya tidak mudah lelah.

Semeru memang gunung yang cukup unik. Di setiap pos peristirahatannya pasti ada pedagang yang menjajakan berbagai macam makanan, mulai dari madu, permen, coklat, snack, mie instan hingga gorengan dan semangka. Iya bener, gorengan dan semangka, kalian ngga salah baca ko. Di semeru memang banyak yang berjualan gorengan dan semangka. Ga percaya?? Gih sono berangkat, buktiin sendiri heheeh. Harga gorengan dan semangka yang dijual termasuk tidak mahal untuk sebuah makanan yang di jual di gunung, cukup dengan 5ribu rupiah, kalian sudah bisa menikmati dua potong semangka segar yang menggoda selera. Hmmmm. Pantas saja salah satu anggota tim kami semakin lama berjalan semakin cepat meninggalkanku, ternyata ada semangka yang sudah menunggunya! hahaha

Mendekati pos 3, rasa laparpun mulai menyerang, maklum tadi terakhir makan pas sebelum berangkat ke Ranupane. Untungnya sudah mempersiapkan bekal dari rumah, sehingga begitu tiba di pos 3, tanpa ba bi bu, aku pun langsung membongkar tas dan mengambil bekal makanan, membuat anggota tim yang lain terheran meski akhirnya ikut makan, wkkwk. Udara dingin mulai terasa saat angin berhembus, tanda kami sudah cukup lama beristirahat. Segera saja aku mengajak anggota tim untuk segera bersiap dan melanjutkan perjalanan karena hari juga semakin sore. Kabut mulai turun mengiringi langkah kami menuju pos 4, mulai lemas dan capek, padahal tadi sudah makan. Pundak pun mulai terasa kurang nyaman, ingin rasanya minta tolong tasnya dibawain tapi kan semua sudah membawa tas masing-masing, yaudah harus kuat pokoknya! Begitu sampai di pos 4 dan menemukan tempat yang pas, buugh.! langsung saja aku menjatuhkan badan beserta tasku. Huft, Alhamdulillah akhirnya sampai pos 4.

Setelah meluruskan kaki dan punggung, kami pun bergegas melanjutkan perjalanan. Medan setelah pos 4 akan lebih menanjak dan menguras energi, maka sebelumnya kami juga mengkonsumsi beberapa makanan serta coklat. Kabut semakin pekat dan udara yang semakin dingin saat kami memulai langkah perjalanan kami. Kepulan debu yang membumbung saat pendaki lain menginjakkan kaki di tanah kering membuatku melambatkan langkah dan sedikit menjaga jarak. Jalur dari pos 4 menuju pos 5 atau yang lebih dikenal dengan Ranu Kumbolo, memang berbeda dari jalur sebelumnya. Disini jalur lebih menanjak dan berdebu, saat musim hujan bisa dipastikan jalur ini akan sangat licin.

Semenjak di Pos 3 kami mulai sedikit jalan terpisak dan berjarak, dan hanya betemu sebentar di tiap pos atau tempat lapang yang memungkinkan untuk istirahat. Salah satu rekan tim nampaknya mulai kesulitan mengikuti ritme jalanku yang kali ini lebih ingin mengikuti ritme jalan Bapak. Ya maklum lah faktor U, ritme jalan Bapak sudah tak seperti saat 20 tahun lalu. Tapi itu justru menguntungkanku yang saat itu memang secara fisik tidak sesiap pendakian-pendakian sebelumnya. Karena kami sudah saling tau ritme perjalanan dan kebiasaan masing-masing saat pendakian, aku mempersilahkan rekan tim untuk berjalan lebih dulu saja sekalian mencari tempat yang pas untuk mendirikan tenda di Ranu Kumbolo nanti. Toh, jalur ke Ranu Kumbolo hanya satu, banyak pendaki lain yang menuju kesana juga jadi kemungkinan tersesat cukup kecil.

Setelah beberapa saat berjalan, lamat-lamat terlihat air danau Ranu Kumbolo di balik rerimbunan dan kabut. Kami pun semakin semangat bergegas melanjutkan perjalanan. Jalur sudah tidak lagi menanjak namun turun, tanda kami sudah semakin dekat dengan Ranu Kumbolo yang memang dikelilingi bukit. Dan taraaa sampailah kami di puncak bukit, nampak jalan terjal dan berdebu menuju bibir danau yang harus kami lewati. Its oke semangaaatt.. dah mau sampai. Yaeeeyy. Eist tunggu dulu, perjuangan belum berakhir, wkwkwkw. Kami memang sudah sampai tepi danau, tapi camp areanya bukan disitu, kami masih harus mengitari sisi bukit untuk sampai sisi lain danau yang merupakan camp area. Hmmm

Sekitar pukul 16.40 akhirnya kami sampai di camp area tepi Ranu Kumbolo. Rekan tim yang tadi berjalan lebih dulu ternyata sudah sampai dan rebahan supaya tempat tersebut tidak digunakan orang lain untuk mendirikan tenda hehe. Disini kami memang tidak bisa sembarangan mendirikan tenda, ada camp area khusus yang berjarak sekitar 15 meter dari bibir danau. Jadi kalau ingin mendapat tempat strategis dengan pemandangan langsung mengarah danau maka harus datang lebih awal. Biasanya para pendaki banyak meninggalkan ranu kumbolo sekitar pukul 10 pagi, dan sebagian besar datang sekitar pukul 5.30 hingga malam. Saat itu camp area belum seberapa ramai sehingga kami bisa memilih lokasi camp di dekat danau.

Setelah selesai mendirikan tenda, kami bergantiaan menyiapkan makan dan ke toilet untuk bersih diri, ganti baju dll. Iya betul toilet, toilet umum, ada closetnya juga, mau mandi? boleh wkwkw. Perkembangan Ranu Kumbolo memang pesat, fasilitasnya juga lengkap untuk ukuran gunung. Selain toilet, disini juga ada mudhola, warung dan shelter. Ngga heran kalau Ranu Kumbolo semakin ramai hingga akhirnya jumlah pendaki ke Semeru pun dibatasi hanya 600 orang per hari. Setelah makanan siap dan selesai dengan urusan masing-masing, kami pun berkumpul untuk makan malam. Tak ingin ribet, kami cukup makan bekal ditemani kopi dan susu panas malam itu. Kami harus menyiapkan energi untuk perjalanan besok yang mungkin akan lebih berat. Udara dingin dan badan yang sudah pegal semakin mendorong kami untuk segera istirahat.
Tapi, ternyata tidak semudah itu ...


(bersambung...)

Bagian 1 -> Menitip (r)asa pada atap tertinggi Jawa (bagian 1)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rinai

Perihal Pulang

Terus kita gimana?