Terus kita gimana?

 


“Mmmaaaaasssss kaappaaaann ppuuulllaaaaannggg?” kali ini panjang panjang kuketik pesan pada Mas, sengaja, sekedar untuk mencari perhatian.

Sebuah pertanyaan yang kukirim nyaris tiap hari dan selalu dijawab “sabar dek.” 

“Ya tapi sampai kapan hadeeehhh”, gerutuku sendiri sambil menatap layar ponsel yang tak kunjung memunculkan pesan balasan.


Hujan bulan Desember membuatku enggan beranjak dari cafe meski semua deadline pekerjaan sudah aku selesaikan.

“Mas kemana sih lama amat bales chat doang, ada meeting apa ya, apa lagi antar Okaasan periksa?” aku berbicara dengan diriku sendiri sambil menatap hujan yang masih turun sejak pagi.


Ya, semenjak kedatangan kami ke Okinawa beberapa bulan lalu, Mas memutuskan untuk tinggal disana dan merawat Okaasan sampai beliau pulih. Aku pun kembali ke Bandung sendiri dengan perasaan campur aduk. Okaasan tidak membenciku, tapi juga tidak menunjukkan rasa suka terhadapku. Sikapnya memang hangat -setidaknya, untuk ukuran orang Jepang yang jarang basa-basi-, namun sorot matanya menyatakan ketidaknyamanan ketika berada di dekatku. Kontras sekali dengan Otousan yang memiliki tampang galak dan tegas -bahkan langsung mengintrogasiku saat pertama bertemu-, namun sangat heboh ketika menceritakan Kota Medan, tempat kelahirannya. Yaahh, meski rasanya akan sedikit sulit untuk mengambil hati Okaasan, setidaknya beliau tidak menolakku begitu saja. Ternyata apa yang aku khawatirkan hanya ada di pikiranku!


“Risma lagi dimana, bisa telfon sebentar” tiba-tiba sebuah pesan masuk ke ponselku.

“Mas? Tumben mau nelfon aja nanya dulu, biasanya kan langsung nelfon aja” batinku. Perasaanku mulai ngga enak, aku pun memutuskan langsung menelfon Mas.


“Konichiwa Kaito-kun!!” sambutku heboh setelah tampilan "ringing" berubah menjadi angka 00:00, tanda kami sudah terhubung.

“Konichiwa. Tumben manggil gitu”

“Mas duluan yang manggil nama di chat tadi kan? Trus masih nanya?”

“Hhmmm marah niihh critanya?”

“Ya iya laahh.. Udah lah ngga pulang pulang, sekarang jadi jarang telfon, Mas kenapa sih?”

“Lha ini telfon kan”

“Yauda terus mau ngomong apa?” tanyaku ketus.


“Mau ngomong serius tapi gajadi aja kalau Risma masih marah” ucap Mas sengaja menggoda karna tau aku paling nggabisa dibikin penasaran.

Aku pun mulai melunak dan lebih tenang.

Obrolan kami kembali mengalir membahas Okinawa yang mulai memasuki musim dingin.

“Dek, Mas minta maaf ya, akhir-akhir ini jarang ngehubungi kamu. Deadline penerbitan buku semakin dekat, Mas sudah mulai ditagih editor. Buku tahun lalu juga rencana akan cetak ulang, jadinya kami sering meeting untuk persiapan” 

“Iya Mas, ngerti kok, buku yang sekarang jadi terbit di sana juga?” tanyaku.

“Rencananya begitu, tapi belum nemu penerjemah yang cocok, sementara aku fokus untuk launching di Indonesia dulu” jawab Mas.

Sesaat hening menyelimuti kami berdua.

“Risma, kalau ternyata aku ngga bisa balik ke Bandung gimana? Okaasan ingin aku tinggal disini. Kamu gapapa kita LDR dulu?" suara Mas di seberang sana membuyarkan lamunanku

“Dek, kamu masih disana kan?” 

“Eeh iya Mas gimana?” jawabku gelagapan karena masih berusaha mencerna kalimat Mas barusan.

“Aku tau ini berat Ma, aku pun ngga ingin LDR, kita sudah sepakat soal ini, aku akan ikut kemanapun kamu ditempatkan setelah menikah nanti. Aku udah berusaha ngomong ke Okaasan dan Otousan tapi beliau tetap bersikukuh ingin aku tinggal disini. Aku nyaris ngga punya alasan untuk kembali dan menetap di Bandung … ”

“Kecuali kita menikah. Sedang aku masih ada kontrak kerja dan belum bisa menikah sampai 2 tahun lagi” sahutku sebelum Mas menyelesaikan kalimatnya. 

Mas memilih tak melanjutkan. Pekerjaan Mas sebagai penulis lepas memang memungkinkan Mas bekerja darimana saja, sehingga satu-satunya alasan yang bisa diterima Okaasan adalah “berkeluarga”.

“Mas belum bilang kalau kita berencana akan menikah 2 tahun lagi?” tanyaku sambil menahan air mata.

“Belum. Terlalu cepat untuk ngomong sekarang Dek” jawab mas dengan nada menggantung.

“Terus kita gimana Mas” isakku tak terbendung lagi.

Aku berharap hujan turun lebih deras. Kalau perlu disertai petir, supaya Mas ngga pernah mendengar tangisku.

“Maaf Dek”, samar samar kudengar suara Mas sebelum akhirnya kupencet simbol bewarna merah di ponsel dan menelungkupkan wajah pada lenganku dalam dalam.


#5CC #5CCday4 #fiksi





Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rinai

Perihal Pulang