Aku juga ingin ...

 



Matahari sore mulai menyingsing menghadirkan teduh. Langit yang biru dengan sedikit awan menandai musim pancaroba. 

Es matcha kesukaan Isna hanya diminumnya sedikit. Sudah satu jam ia duduk sendirian, berkali kali membuka dan menutup aplikasi sosial media yang ada di ponselnya.

“Ngga ada kabar dari Mas” gumamnya sambil memandangi ponsel gusar, bosan sedari tadi pesan yang dia tunggu tidak kunjung muncul. 

Sebulan terakhir tiap akhir pekan suaminya tidak pernah di rumah. Ada saja kegiatan di kampus, pelantikan lah, rapat lah, penelitian lah, mendampingi kegiatan mahasiswa lah.

“Percuma ditunggu, Mas ngga mungkin chat kalau sedang sibuk” ujar Isna sambil meletakkan ponselnya kesal, kemudian menyalakan laptop untuk menyelesaikan invoice pesanan yang sudah menumpuk sejak kemarin lusa.


“Drrrt ddrrrrttt…” ponsel Isna bergetar panjang, tanda ada panggilan masuk.

Tulisan *Mas Ariia-ku* tertampil pada layar ponsel. Buru-buru Isna mengangkat panggilan telepon tersebut.

“Assalamualaikum Na, sedang dimana? Kok rumah kosong?” todong suara di seberang.

“Eeh Waalaikumsalam Mas, maaf Dek Isna lagi di Cafe Sore. Mas sudah pulang ya?” balas Isna merasa bersalah.

“Ooh nggapapa, Mas tadi pulang sebentar, mendadak ada tugas ke luar kota jadi Mas pulang ambil baju ganti?” ucap Aria terdengar buru-buru.

“Looh, sebentar ya Mas, Dek Isna pulang sekarang, Mas tunggu dulu ...”

“Eeh jangan. Mas sudah di jalan, hampir sampai kampus” potong Aria, mengurungkan niat Isna untuk pulang.

“Maaf Mas, Dek Isna ngga bisa bantu siapkan baju” sesal Isna.

“Ngga masalah, Mas bisa sendiri. Sudah dulu ya, Mas sudah sampai kampus. Hati-hati kalau pulang, jaga diri baik-baik” pesan Aria mengakhiri panggilan telfon.


Satu menit kemudian, sebuah pesan masuk ke ponsel Isna.

Jadwal kegiatan dan tiket pesawat Aria. Suaminya memang selalu mengirimkan jadwal kegiatannya ketika keluar kota. “Biar ngga khawatir kalau pas susah dihubungi” begitu jawab Aria ketika ditanya alasannya. 

“Bogor lagi ya, sepertinya bulan lalu Mas juga ke Bogor. Kenapa sering sekali?” gumam Isna sambil memperhatikan lekat lekat jadwal kegiatan Aria.

2 menit kemudian sebuah notifikasi muncul, membuyarkan lamunan Isna. Tak lama disusul pesan dari Aria.

“Uang bulanan sudah aku transfer ya Na, tolong nanti bayarkan uang iuran ke Pak RT sekalian tagihan air dan listrik. Tugas kali ini agak lama, kalau kesepian nginap di rumah Mama saja” Isna membaca pesan dari Aria bingung. Ia kembali memeriksa jadwal kegiatan Aria, dan benar saja ternyata jadwal kegiatan Aria nyaris 2 pekan.


Isna tertegun, tiba tiba ia merasa sepi. Untuk pertama kalinya Isna merasa Aria begitu jauh dari Aria. Hampa. Rasanya seperti ia menjalani kehidupan seorang diri. Berbagai dugaan dan pemikiran pun kembali muncul. 

Isna mempertanyakan kembali kenapa Aria masih saja bersikukuh menunda memiliki momongan bahkan setelah 2 tahun pernikahan mereka. 

Aria memang perhatian, namun sikap dinginnya tak kunjung berubah. Aria selalu memanggil istrinya dengan panggilan nama, tak seperti pasangan-pasangan lain. 

Isna pun sering “dititipkan” di rumah mertuanya ketika Aria keluar kota lebih dari 2 pekan. Sejak sebelum menikah Isna memang diminta untuk menjaga mertuanya, namun ia tidak menyangka akan seperti ini. Komunikasi suaminya memang buruk, itulah salah satu pertimbangan Aria memilih Isna supaya bisa jadi jembatan komunikasi. 

“Padahal kan itu orang tua Mas sendiri, harusnya Mas yang lebih paham bagaimana cara komunikasi yang baik dengan beliau” gerutu Isna, kesal karena ia pun masih sering berselisih paham dengan mertuanya. 


Tiba-tiba air mata Isna jatuh melihat sepasang suami istri yang baru saja datang sambil mendorong kereta bayi. Mereka nampak mesra dan bahagia sekali. Ketika si istri kesulitan makan karena sambil menyusui bayi mereka, si suami sigap membantu memotong makanan dan menyuapi istrinya. Nampak hangat sekali 

“Aku juga ingin seperti itu Mas…” ucap Isna lirih. 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rinai

Perihal Pulang

Terus kita gimana?