Izinkan Kamu Ditolong, ya?

 “Praang..” suara barang jatuh terdengar dari ruang tengah, kali ini terdengar seperti vas bunga yang pecah. 

Sudah 10 menit Fajar meringkuk ketakutan dalam kamarnya. 20 menit yang lalu Ayahnya pulang dalam keadaan mabuk dan membuat Ibunya murka. Fajar yang sebelumnya tertidur di sofa ruang tengah langsung berlari menuju kamarnya, hal yang selalu ia lakukan jika kedua orangtuanya mulai bertengkar. 

“Darimana saja kamu Mas jam segini baru pulang?” tanya Sani sambil menahan amarah.

“Ya darimana lagi kalau tidak kerja” jawab suaminya acuh sembari menjatuhkan badan di sofa, kemudian mulai menyalakan rokok.

“Buang rokokmu Mas” kata Sani berusaha merebut rokok yang ada di tangan suaminya.
“Apa apaan kamu” suaminya menepis tangan Sani.

“Mas sudah berapa kali aku bilang untuk tidak merokok di rumah, dan lagi, sejak kapan kamu jadi mabuk mabukan begini?” 

“Bukan urusanmu! Kamu fokus kerja saja sana, cari uang yang banyak untuk anak kesayanganmu itu!” Suaminya mulai meninggikan suara.

“Ya ngga bisa begitu dong Mas! Aku kerja juga buat kita, kamu sebagai kepala keluarga harusnya bisa jadi contoh yang baik, bukan malah pulang malam dalam keadaan mabuk begini” Sani semakin geram dengan tingkah suaminya.

“Aku ngga memintamu kerja, itu maumu sendiri” suaminya berusaha mengelak.

“Terus keluarga kita makan apa mas? Apa kamu kira uang 100rb yang kamu beri akan cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga kita untuk satu bulan? Bahkan setelah aku bekerja pun semua kebutuhan rumah aku yang tanggung, tapi hutang kita semakin menumpuk, uang sekolah Fajar juga ngga kamu bayarkan, kemana saja uang yang aku kirim setiap bulan?” Sani berteriak marah. Suaminya hanya diam sambil terus menyesap rokoknya. 

Minggu lalu Sani mendapat telfon dari sekolah anaknya, pihak sekolah menyampaikan bahwa Fajar belum membayar SPP selama 6 bulan. Hal itu pula yang akhirnya mendorong Sani mengambil cuti dan pulang ke Indonesia lebih awal. 


“Aku tadi ke sekolah, guru Fajar bilang katanya uang tabungan Fajar di sekolah bulan lalu kamu ambil semua. Jawab jujur Mas, kamu pakai untuk apa saja semua uang itu?” Sani kembali bertanya, kali ini dia menurunkan intonasi suaranya.

“Kamu ga perlu tau” suami Sani tiba-tiba beranjak dari sofa dan melangkahkan kakinya menuju pintu.

“Mau kemana lagi kamu Mas, kita belum selesai bicara” Sani berusaha menahan suaminya. 

“Bukan urusanmu” ucap suaminya sambil mendorong Sani hingga menghantam vas bunga besar yang ada di ruang tamu.

“Mas!” Sani berteriak memanggil suaminya, namun suaminya tetap beranjak pergi. 

“Braakk..!” suara pintu dibanting, disusul deru mesin motor yang menjauh.


Fajar menghampiri Ibunya setelah suara motor Ayahnya tidak lagi terdengar.

“Bu, kenapa Ibu tidak berpisah dengan Ayah saja Bu? Fajar bisa tinggal sama nenek di desa nanti” tanya Fajar sambil memeluk ibunya yang masih terisak. 

“Ibu baik baik saja Nak, Ayahmu memang sering marah akhir-akhir ini, mungkin karna lagi capek” jawab Sani, berusaha memberi pengertian putra semata wayangnya tersebut.

“Tapi Ayah sudah jahat ke Ibu” protes Fajar.

“Sssttt ngga boleh bilang gitu, bagaimanapun itu ayah Fajar. Ibu ngga ingin Fajar kehilangan sosok Ayah karena Ibu dan Ayah berpisah” ucap Sani.

“Tapi aku sudah lama kehilangan Ayah Bu, aku hanya tinggal bersama laki-laki asing yang selalu pulang larut malam dan sering membawa perempuan lain ke kamar Ibu!” ucap Fajar dalam hati, tak kuasa harus mengatakannya langsung dan melihat Ibunya semakin sedih. 


“Ddrrrt ddrrrtt ddrrrtt …”

Getar ponsel di meja membangunkan Fajar tiba-tiba, sebuah telfon masuk.

Mentari. Sebuah nama yang berada di puncak daftar panggilan ponselnya 2 bulan terakhir.

“Halo, Uda lagi tidur? Maaf Adik ganggu, Bunda bilang fitting bajunya ditunda jam 7 karna Bunda masih kerumah tante” ucap gadis Minang yang akan dinikahinya pekan depan tersebut.   

“Oke, nanti Uda ke rumah jam 6 ya” balas Fajar. Sambungan telfon diakhiri


Fajar termenung menatap sinar matahari sore yang menembus tirai kamarnya.

“Mimpi itu lagi” Fajar berbicara dengan dirinya sendiri, mengingat kenangan masa kecil yang kerap kali hadir di mimpinya. Peristiwa yang terjadi 18 tahun yang lalu tersebut memang berlangsung tak sampai 30 menit, tapi goresan lukanya membekas sampai Fajar dewasa. Pertengkaran hebat kedua orang tua Fajar yang membuatnya trauma dan takut dengan pernikahan, takut menjadi suami dan ayah yang buruk.

Ingatan Fajar berkelebat cepat, membawanya pada memori 6 tahun lalu saat pertama kali bertemu Mentari di lapangan kampus mereka. Mentari, satu-satunya orang yang mempu meyakinkannya untuk pergi ke psikolog untuk membantu menyembuhkan trauma masa kecilnya.

“Traumamu mungkin memang ngga akan mengecil dan akan tetap ada, tapi kamu yang akan tumbuh lebih besar dan mampu menguasai trauma itu. Izinkan dirimu ditolong ya” ucap Mentari waktu itu.


#5CC #5CCday1 #diorama #careerclass #bentangpustaka





Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rinai

Perihal Pulang

Terus kita gimana?